Senin, 21 September 2009
Bahasa Kelas Tiga
DALAM diskusi mengenai “Sosok dan Karya Nano S.” yang diselenggarakan di STSI pekan pertama bulan Agustus 2004, saya menganjurkan agar diusahakan timbulnya rasa bangga (kareueus) orang Sunda untuk bicara dengan bahasa Sunda. Sebab sudah lama tampak kecenderungan orang Sunda menganggap bahasa Sunda sebagai bahasa kelas tiga setelah bahasa asing, terutama Inggris dan bahasa Indonesia.
Buktinya, kalau kita menawar buah-buahan atau dagangan lain di pinggir jalan di tatar Sunda dengan bahasa Sunda, selalu dijawab dengan bahasa Indonesia, walaupun pedagang itu jelas orang Sunda. Di Tasikmalaya, ada pasangan suami-istri Sunda yang dengan bangga mengatakan kepada tetangganya bahwa dia sengaja tidak mengajari anaknya berbicara bahasa Sunda, karena berbicara bahasa Sunda itu “rugi”.
Terhadap anjuran itu, ada yang berpendapat, agar bahasa Sunda digunakan oleh orang Sunda, maka bahasa Sunda harus (dianggap) penting. Tapi, bahasa Sunda akan dianggap penting tidaklah karena struktur linguistik atau perbendaharaan katanya. Bahasa Sunda akan dianggap penting kalau orang Sunda dan masyarakat Sunda yang mempergunakannya memang penting. Dan orang dan masyarakat Sunda penting, kalau prestasinya dalam hidup-nyata memang penting, artinya menonjol sehingga orang-orang lain pun ingin mempelajarinya.
Dalam hubungan ini saya mengemukakan contoh bahasa Jepang yang juga tidak mudah mempelajarinya. Tetapi karena bangsa dan masyarakat Jepang memperlihatkan prestasi yang menjulang hampir dalam setiap bidang kehidupan, maka sekarang banyak orang yang mempelajarinya. Sebaliknya dengan bahasa Rusia, ambruknya negara dan ambruknya sistem komunisme menyebabkan orang kehilangan minat mempelajari bahasa itu.
Maka satu-satunya jalan agar orang Sunda menjadi penting atau dianggap penting adalah dengan harus memperlihatkan prestasi dalam segala bidang. Sayangnya, sebagai suku bangsa yang jumlahnya nomor dua di negara ini, sekarang orang Sunda tidak punya prestasi yang menonjol. Sehingga hampir-hampir tak masuk hitungan. Lihat saja dalam pemilu presiden, hanya ada satu orang Sunda. Itu pun hanya jadi calon wakil presiden, kalah lagi.
Pada masa sebelum perang, ada orang Sunda yang memperlihatkan prestasinya sebagai pengusaha sukses yang mulai dari bawah. Di antaranya R.H.O. Djoenaedi (Haji Oeni) dari Tasikmalaya dan A. Kasoem pengusaha kaca mata yang legendaris.
Sejak masa sebelum perang, dalam bidang politik, orang Sunda hanya menjadi orang kedua atau orang kesekian. Meskipun partainya dibentuk di tatar Sunda dan kebanyakan anggotanya orang Sunda (PNI, PNI Pendidikan, dll.). Hanya dalam bidang kesenian, terutama seni pertunjukan, jumlah orang Sunda cukup banyak di pentas nasional. Beberapa orang bahkan menjadi seniman terkemuka seperti S. Rukiah, Raden Mochtar, Dahlia, Bing Slamet, Rhoma Irama, Hetty Koes Endang, dll. Tetapi perlu segera diterangkan pula, bahwa yang menjadi sutradara atau produser selain jumlahnya kecil, tidak ada yang menonjol.
Yang jadi soal mengapa orang enggan mempelajari bahasa Sunda adalah adanya undak-usuk basa. Sehingga anak-anak dan orang Sunda yang sudah dewasa selalu merasa takut salah kalau berbicara bahasa Sunda. Maka, undak-usuk basa pada pendapat saya sebaiknya diabaikan saja, tak perlu diajarkan di sekolah. Karena tatar Sunda termasuk wilayah Republik Indonesia yang demokratis, rasanya tak pantas mempertahankan bahasa yang feodalistis yang membedakan manusia berdasarkan kedudukan sosialnya. Tanpa undak-usuk basa, orang akan lebih mudah belajar dan lebih berani mempergunakan bahasa Sunda. Sedangkan undak-usuk cukup diketahui sebagai pengetahuan, terutama untuk membaca teks sastra atau naskah-naskah lama.
Untuk tanda menghormat orang lain, tentukan saja sejumlah kata dari bahasa halus (basa lemes) yang hanya digunakan kepada orang lain tanpa mempedulikan kedudukannya dalam masyarakat. Misalnya kata “angkat”, “tuang”, “kulem”, “ngadangu”, “saur”, “bumi”, “jenengan”, dan beberapa lagi. Kata-kata yang lain cukup dijadikan sinonim saja dan dapat digunakan terhadap siapa pun juga –tanpa mempedulikan kedudukan sosialnya.
Saya sendiri berpendapat bahwa lebih baik orang Sunda itu berbicara dalam bahasa Sunda yang banyak salahnya dan tidak sesuai dengan ketentuan undak-usuk basa daripada mereka tidak berani berbicara bahasa ibunya sendiri.
Mudah-mudahan kalau orang Sunda sudah membuktikan prestasi dalam segala bidang kehidupan dan bahasa Sunda sendiri terasa lebih mudah dipelajari dari sebelumnya sehingga banyak orang Sunda yang menonjol dalam lingkungan nasional, orang akan merasa bangga (reueus) berbicara dengan bahasa Sunda.***
- 16 Juni 2008
Sumber :
Ajip Rosidi
http://ajip-rosidi.com/esai-bahasa-indonesia/bahasa-kelas-tiga-2/
22 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar