Siapa sebenarnya yang disebut orang Sunda? Pertanyaan ini kembali menggelitik setelah Acil Bimbo saparakanca sukses mengadakan acaraGempungan Urang Sunda di Gasibu, Senin 11 September, yang dihadiri ribuan warga Sunda dari berbagai kalangan.
Menurut Acil, Gempungan Urang Sunda merupakan bentuk kegelisahan Acil dan tokoh masyarakat Sunda lainnya terhadap eksistensi Sunda yang saat ini terpinggirkan. Tidak hanya di bidang politik, di hampir semua bidang, masyarakat Sunda seolah tak berdaya meski berada di urutan kedua etnis terbesar di Indonesia.
Pada acara puncak, personel grup musik Bimbo ini pun berteriak lantang menyebutkan tiga poin deklarasi warga Sunda. Intinya, ikrar itu untuk membangun kebersamaan dalam menjaga Jawa Barat agar tetap kondusif.
Ada dua kata yang kerap dipertukarkan begitu saja-bukan hanya terdengar pada acara Gempungan Urang Sunda itu seakan-akan memiliki arti yang sama: Sunda dan Jawa Barat. Sebab, kenyataannya, tidak semua orang Jawa Barat adalah orang Sunda. Wong Cerbon dan Dermayu banyak yang tidak merasa diri mereka orang Sunda.
Sebaliknya pun begitu, tidak semua orang Sunda berada di Jawa Barat. Bukankah di wilayah Provinsi Banten berdiam banyak orang Sunda? Jangan lupa, di bagian barat Provinsi Jawa Tengah, di Kabupaten Brebes, dan Cilacap terdapat juga masyarakat yang sehari- harinya berbicara bahasa Sunda, memelihara bermacam seni Sunda (wayang golek, calung, jaipongan, dan lain-lain), dan merasa diri mereka adalah orang Sunda. Kerajaan Sunda
Sunda sebagai sebuah etnis boleh jadi sudah ada sejak zaman prasejarah. Berdasarkan data dan penelitian arkeologis, wilayah (yang sekarang disebut) Jawa Barat (dan Banten) telah dihuni oleh masyarakat Sunda secara sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs purbakala di Ciampea (Bogor), Klapa Dua Jakarta), dataran tinggi Bandung, dan Cangkuang (Garut) memberikan bukti dan informasi bahwa lokasi lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan, organisasi sosial, sistem mata pencarian, pola permukiman, dan sebagainya, sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat manusia betapa pun sederhananya.
Namun, sebagai sebuah wilayah (kerajaan), nama Sunda baru muncul pada abad ke-7, ketika Tarusbawa, raja terakhir Tarumanagara, mengubah nama kerajaan itu menjadi Sunda, tahun 669 M. Tak lama setelah Tarusbawa mendirikan Kerajaan Sunda, maharaja Galuh, Wretikandayun, melepaskan diri dan membentuk sebuah negara yang berdaulat. Jadi, pada saat itu di belahan barat Pulau Jawa terdapat dua kerajaan yang (relatif) besar, yakni Galuh dan Sunda, yang dibatasi Sungai Citarum.
Sebagai sebuah wilayah kerajaan, Sunda mengalami pasang-surut. Pada awalnya, kerajaan Sunda hanya meliputi wilayah seluas kira-kira separuh Jawa Barat, yakni dari Ujung Kulon hingga Citarum. Ketika Sunda dan Galuh bersatu, wilayahnya pernah mencapai Banyumas dan Brebes. Kerajaan Sunda mengalami kemunduran setelah Sri Baduga meninggal. Para penggantinya (Surwisesa dan seterusnya) gagal mempertahankan kejayaan Sunda. Kerajaan ini pun makin lama makin surut, hingga berakhir pada masa Ragamulya Suryakancana tahun 1579 M. Titi mangsa inilah yang kita kenal sebagai saat runtagna Pajajaran.
Sebagai sebuah wilayah administratif, Jawa Barat merupakan provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (Staatblad Nomor: 378). Provinsi Jabar dibentuk berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Toh, 50 tahun kemudian dengan lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2000 tentang Provinsi Banten, wilayah administrasi pembantu gubernur wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Provinsi Banten, yang meliputi Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten/Kota Tangerang, dan Kota Cilegon.
Bisa disimpulkan, sekali lagi bahwa Sunda tidak sama dengan Jawa Barat dan Jawa Barat tidak sama dengan Sunda. Sebagai sebuah etnis, warga Sunda bisa berada di mana saja, di Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Papua, bahkan Eropa, Amerika Serikat, dan lain-lain. Warga Sunda adalah warga dunia. Sebagai sebuah wilayah, Tatar Sunda juga berbeda dengan Jawa Barat.
Untuk menentukannya pun lebih sulit lagi, dan rasanya tak relevan lagi menentukan wilayah yang disebut Tatar Sunda secara administratif. Siapa orang Sunda?
Untuk menentukannya pun lebih sulit lagi, dan rasanya tak relevan lagi menentukan wilayah yang disebut Tatar Sunda secara administratif. Siapa orang Sunda?
Jadi, siapa sebenarnya yang disebut orang Sunda? Pendapat HR Hidayat Suryalaga, inohong yang tak perlu diragukan lagi kesundaannya, menarik untuk dicermati, kemudian diresapi dan diimplementasikan. Menurut Hidayat, siapa pun Anda yang memenuhi salah satu saja dari empat kriteria berikut:
pertama, merasa diri menjadi orang Sunda;
kedua, orang lain menyebut Anda orang Sunda;
ketiga, ayah dan ibu Anda orang Sunda asli;
dan keempat, tingkah laku dan cara berpikir Anda sehari-hari persis orang Sunda meskipun orangtua Anda bukan Sunda, maka Anda adalah orang Sunda.
Bila kita memakai kriteria ini, jelaslah siapa yang disebut orang Sunda. Namun, kriteria ini pun menimbulkan pertanyaan. Misalnya, jika seseorang merasa diri orang Sunda, dan orang lain menyebut dirinya Sunda, serta orangtuanya Sunda asli, tetapi ternyata ia bertingkah laku yang tak sesuai dengan orang Sunda (misalnya, melakukan korupsi), pantaskah ia disebut orang Sunda?
Dalam kaitan ini, patut digarisbawahi orasi Jajang Cahyana, seorang yang diperkenalkan sebagai tukang becak, pada acara Gempungan Urang Sunda di Gasibu, dua pekan lalu.
“Naha enya urang Sunda nu ayeuna jareneng teh nyaah ka rayat leutik? Naha enya urang Sunda nu aya di dieu malire ka jalma leutik siga kuring? Buktina, kuring nu cicing di pasisian kungsi nandangan lapar dua poe euweuh nu malire. Kuring ngalaman dibuburak pira jadi tukang mulung”.“Saat pemilihan anggota dewan di Kabupaten Bandung, hampir semua tukang becak di daerah saya memilih seorang anggota dewan asal Sunda. Tapi sekarang, orang itu sama sekali tidak pernah lagi muncul, bahkan tidak pernah bersuara. Karena itu, orang Sunda jangan mau dibohongi lagi,” katanya.
Jadi, yang penting sesungguhnya bukanlah atribut atau engakuan, melainkan sikap mental dan cara berpikir. Apakah sikap mental dan cara berpikir kita sudah mencerminkan sebagai orang Sunda? Hanya kita yang bisa menjawabnya.
Sumber :
HERMAWAN AKSAN
Penulis Cerpen, Novel, Esai
Penulis Cerpen, Novel, Esai
Kompas Jawa Barat, rebo 27 september 2006, dalam
23 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar