Perbincangan mengenai bahasa daerah dan globalisasi tersebut terjadi diskusi publik bertema “Bahasa Sunda dan Arus Globalisasi”di Aula Gedung B, Fakultas Sastra (Fasa) Unpad, Jatinangor, Selasa (1/09). Diskusi ini menghadirkan narasumber Profesor Universitas Nanzan Nagoya Jepang, Mikihiro Moriyama, Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia, dan Pembantu Dekan Bidang Akademik Fasa, Reiza D. Dienaputra, Drs., M.Hum.
Menurut Reiza D. Dienaputra, M.Hum., dalam konteks sejarah, bahasa Sunda merupakan bahasa yang mengalami perkembangan. Bahasa Sunda pernah dipengaruhi kebudayaan Hindu-Budha dengan bahasa dan aksara Sansekerta. Bahasa Sunda kemudian mengalami perkembangan karena pengaruh kebudayaan Islam dengan bahasa Arab. Selanjutnya giliran kebudayaan Eropa yang mempengaruhi bahasa Sunda.
Sementara Kebudayaan Jawa dinilai sangat mempengaruhi bahasa Sunda dalam konteks unggah-ungguh bahasa. Proses tadi merupakan bentuk proses globalisasi. Sebenarnya globalisasi dalam bahasa Sunda telah terjadi sejak dulu. Hanya aktor dan waktu globalisasi terjadi yang membedakan.
“Jadi bahasa Sunda tidak pernah terpuruk atau bahkan punah. Bahasa Sunda mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Di lain pihak, globalisasi malah memperkokoh bahasa Sunda,” jelas Reiza D. Dienaputra, M.Hum.
Melihat fakta sejarah tersebut Pembantu Dekan I Fasa tersebut menilai bahwa kebudayaan-kebudayaan luar selain Sunda, bukan hanya mempengaruhi namun juga memperkaya khasanah budaya dan bahasa Sunda itu sendiri.
Perkembangan budaya dan bahasa juga tak lepas dari peranan anggota masyarakat pengguna dan pencinta budaya dan bahasa tersebut. Fenomena para pengguna dan pencinta Sunda ini akhirnya memunculkan konsep mengenai kesundaan itu sendiri.
“Konsep kesundaan yang berlaku sekarang adalah Sunda secara genetik, yaitu dimana kedua orang tuanya atau salah satu orang tuanya adalah orang Sunda. Konsep yang kedua adalah secara budaya. Meskipun ia bukan keturunan Sunda, namun ia dibesarkan dengan cara, budaya dan bahasa Sunda, dan ia sendiri akhirnya mencintai bahasa Sunda, maka ia bisa disebut sebagai orang Sunda,” sambung Reiza.
Hal ini diamini oleh Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia. Sebaliknya, ia menyatakan, meski seseorang lahir dari garis keturunan Sunda, namun jika ia dibesarkan di lingkungan bukan Sunda, tidak menggunakan bahasa Sunda, diperlakukan tidak dengan budaya Sunda, maka bisa jadi ia bukan orang Sunda.
“Saat ini banyak sekali yang takut dan malu menggunakan bahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari meskipun orang itu memiliki keturunan Sunda. Bahkan di kampung-kampung semakin banyak ibu-ibu yang mengajarkan anaknya bahasa Indonesia daripada bahasa Sunda, meski ia berketurunan Sunda dan hidup di tatar Sunda,” tutur Prof. Ganjar.
Rektor sendiri mengaku dalam statuta Unpad tahun 2002, terdapat tiga bahasa yang menjadi bahasa pengantar dalam perkuliahan. “Bahasa Sunda, Indonesia dan Inggris adalah bahasa pengantar dalam perkuliahan yang tercantum dalam Statuta Unpad 2002. Hal ini membuktikan bahasa Sunda mampu menjadi alat transformasi ilmu,” ujarnya. Meskipun begitu ia menyadari tidak semua bahasa mampu menjelaskan semua hal, apalagi hal-hal yang berasal dari budaya yang berbeda.
Sementara itu, menurut Mikihiro, menjadi orang yang multilingual mempunyai banyak sekali keuntungan. Dengan mempelajari bahasa, lambat laun ia akan mempelajari budayanya. Warga negara Jepang yang mengaku bahwa Indonesia, khususnya tatar Sunda adalah rumah keduanya ini mengatakan, globalisasi yang terjadi saat ini karena adanya internet. Teknologi dunia maya yang memungkinkan seseorang mengakses informasi tanpa memandang batas wilayah, budaya, bahasa dan kedaulatan suatu negara.
Dalam pengucapan bahasa Sunda yang halus dan lancar, Mikihiro mengatakan bahwa pemakaian bahasa lokal dalam internet selain bahasa Inggris cenderung meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tidak bisa diatur. Mengenal, mempelajari dan menguasai lebih banyak bahasa adalah lebih baik. (eh)*
- 1 September 2009
Sumber :
Anton Sumantri
22 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar